Makna Tradisi Meron
Sedangkan meron boso (jawa): “me” yang berarti “rame”. “ron” yang berarti “tiron”. Sehingga meron adalah “ramene tiron-tiron (ramainya meniru)”. Tujuan diadakannya meron adalah untuk melestarikan budaya dari masyarakat yang secara turun temurun dalam peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, dan sebagai wadah untuk meningkatkan ketakwaan, serta rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat yang diangurahkan. (Ali Zuhdi dan Swidarto, 2000)Sejarah Tradisi Meron
Tradisi meron awalnya merupakan warisan leluhur yang masih ada kaitannya dengan Tradisi Sejaten atau Grebek, pada masa pemerintahan panembahan sinopati dari kesultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun desa Sukolilo merupakan wilayah kademangan dubawah kekuasaan Kabupaten Pati Pesantrenan oleh Bupati Wasis Joyo Kusumo.Tradisi ini pertama kali dilakukan sekitar abad 17 (tahun 1601) dan berlangsung sampai sekarang, saat bertepatan pada peringatan Hari Mauluid Nabi Muhammad SAW, setiap tanggal 12 bulan maulud.
Sejarah dari asal-usul tradisi meron tidak diketahui secara pasti, namun berdasarkana cerita legenda dari para sesepuh desa dan keturunan dari DemangSukolilo, diperoleh cerita tentang sejarah Meron, yakni, upacara tradisi meron di Sukolilo diadakan pertama kali pada masa Pemerintahan Kademangan di bawah kekuasaan Kekuasaan Pati Pesantenan oleh Bupati Wasis Joyo Kusumo.
Sedang Demang di sukolilo pada saat itu adalah Suro Kerto, dimana Suro Kerto adalah keturunan bangsawan kesultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat. Dinama Suro Kerto adalah keturunan bangswan Kesultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat. Suro Kerto memiliki saudara yaitu Suro Kadam, Suro Yudo, SuroDimejo dan Suro Noto, maka kelima bersaudara laki-laki ini terkenal dengan sebutan “Pendowo Limo”.
Suro Kadam (Saudara tertua Pemdowo Limo) bermaksud mengembara ke Mataram Untuk menengok tanah kelahiran leluhurnya, pada saat sampai dialun-alun Kasultanaan Mataram tiba-tiba terlihat prajurit lari tunggang langgung menyelamatkan diri dari amukan seekor gajar titihan sang Sultan yang lepas dari kandang, karena baru saja juru Srati (Pawang) gajah tersebut meninggal dunia. Gajah titihan sultan berhasil dijinakkan oleh Suro Kadam.
Atas keberhasilanya menjinakkan gajah tersebut maka Suro Kadam diangkat menjadi juru Srati dan diberi gelar “Raden Ngabehi Suro Kadam”. Pada saat pecah perang antara kerajaan mataram dengan kadipaten Pati Suro Kadam dipercaya sebagai Telik Sandi (mata-mata) untuk memberikan informasi tentang keadaan daerah Pati. (Ifa Afrilia Istiani, 2015, hal: 168-169).
No comments:
Post a Comment